Yang Ia Titipkan Pada Kami

Erlangga Gunawan
4 min readJun 2, 2023

--

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”

Suara ibunya terus diputar olang oleh kepala Elang, entah karena ia menyukai betapa hangat dan sedih suara itu terdengar atau memang karena ibunya masih mengatakan tiga kata yang sama berulang kali. Elang terduduk di lantai kamarnya, masih berusaha menerima informasi yang ia terima sejam lalu. Ternyata hidup selama delapan tahun tidak membuatmu tahu segalanya — Elang baru menyadari itu. Pasalnya, setelah delapan tahun hidup, ia baru mengetahui dirinya berbeda. Jantungnya berbeda.

Lantas, semua berpasangan di kepala: mengapa orang tuanya melakukan apa yang mereka lakukan selama ini. Tatapan khawatir dan pertanyaan yang berulang, Elang baru mengerti. Elang baru tahu. Tapi, tidak apa-apa.

“Tidak apa-apa.”

Elang yakinkan ibunya kembali.

Empat tahun kemudian, Elang baru tahu ada satu rasa yang tak pernah ia kenal sebelumnya: cemburu. Salahkan teman-temannya yang sering mengumbar ajakan bermain sepeda atau salahkan dirinya yang masih mendengar percakapan mereka, Elang tidak tahu.

Elang cemburu, Elang iri. Maka, sore itu Elang susun rencana. Saat penjaganya beristirahat, Elang menyelipkan diri keluar dari rumah. Berlari melewati sekian banyak asisten yang ibunya pekerjakan, berlari menemui teman-teman yang sudah menunggu di depan. Elang tidak pernah tersenyum lebih lebar sebelumnya.

Senyum yang satu jam kemudian harus ia tutup — bersamaan dengan kedua mata saat Elang kecil jatuh ke tanah, tangan kanan sibuk menarik bagian yang sakit di dadanya.

Di hari yang sama, Elang menerima fakta bahwa ia berbeda. Ia mendengar.

“Elang, di dunia ini, akan ada hal-hal yang tidak bisa kamu gapai. Tapi, itu bukan berarti kamu nggak bisa gapai semuanya,” ucap ibunya, merapikan rambut di dahi Elang, duduk di sebelah Elang terbaring. Bau rumah sakit todak pernah enak.

“Contohnya apa, Mama?”

Malam itu, di kamar rumah sakit yang dingin dan kelewat nyaman, Elang dikenalkan pada menulis. Dengan tangan kanan yang pegal setengah mati dan kertas kusut bekas dipakai pekerjaan ibunya, Elang menulis ditemani sang ibu.

Maka, Elang mulai menulis untuk menggapai mimpi-mimpinya.

Tidak apa-apa.

Enam tahun kemudian, Elang dikenalkan pada satu hal yang cukup rumit pada masa itu: kuliah. Ada rasa gugup dan takut yang dirasa, maka Elang menghabiskan waktu istirahat dengan menulis segala sesuatu yang seram soal hari itu.

Lantas, ia dipertemukan pada Satria.

“Pernah dengar yang namanya Sadjak?” katanya, hari itu.

Malam itu, Elang dikenalkan pada teman-teman yang kurang lebihnya sama dengannya. Mereka menulis, sepertinya. Ada rasa senang — cukup aneh, yang ia rasa saat membaca tulisan mereka. Ada tawa dan senyum yang muncul di wajah Elang saat mendengar candaan mereka. Ada rasa hangat. Namun, yang asing hanya satu bagi Elang, ada rasa hidup yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Enam bulan kemudian, Elang dikenalkan pada rasa susah. Jemarinya bolak-balik memuat ulang ruang obrolan virtual di ponselnya, menunggu kabar terbaru perihal Sadjak — perihal rumah.

[LINE: Nattaya Karenina]

  • Habis denger dari Satria
  • Cek deh
  • Nattaya Karenina sent you a link.
  • Lemes…

Malam itu, tangis Elang turun tanpa ia sadari. Sadjak direnggut, rumahnya sudah tidak ada. Hangat yang ia rasa hilang begitu saja, tidak ada lagi hari yang ia tunggu di minggu ini. Pesan-pesan berikutnya yang masuk sama tak mudahnya untuk dibaca. Maka, Elang matikan ponselnya.

Maka, malam itu Elang kembali menulis tentang mimpi-mimpinya. Salah satu tulisannya ditujukan untuk Sadjak.

Tidak apa-apa.

Tiga tahun kemudian, Elang sedikit menyesali keputusannya untuk memimpin organisasi di semester ini. Sudah tugas akademis menumpuk, kini ia dihadapkan dengan tugas organisasi — yang ia sendiri perintahkan. Rasanya seperti menggali lubang untuk diri sendiri.

Gelas teh satu persatu mulai habis ia sesap, tiga hingga empat dapat terhitung di atas meja. Pulpen ia ketukkan pada permukaan terdekat, membaca dengan seksama layar di depannya.

Sejak kecil, Elang tahu ada sesuatu yang akan datang tiba-tiba. Yang Elang tidak tahu adalah, malam ini, itu datang tiba-tiba. Rasa sakit kecil mulai ia rasa di dada, sebelum meluas dan menjadi susah untuk diabaikan. Tangan Elang bergerak ke sumber sakitnya, mengikuti insting. Yang Elang lihat selanjutnya adalah hitam — sebelum suara jatuh dapat terdengar di seluruh kamarnya.

Namun, malam itu, sang pemimpin bermimpi. Mimpinya memutar ulang malam yang pernah ia lalui: teman-teman asyik sendiri, bertengkar dan bertukar pandangan tentang berbagai topik. Malam itu, Elang berdiri di tengah-tengah ruangan Sadjak. Matanya mencari-mencari, beberapa hanya dapat ia lihat dengan buram. Namun, ada yang jelas.

Elang tangkap bayangan Radhitya. Radhitya sedang tertawa, menceritakan cerita entah apa kepada sekumpulan teman-temannya — anggota Sadjak, simpul Elang. Radhitya terlihat senang. Sudah lama sejak Elang tidak melihat ia tertawa, ada rasa hangat yang Elang rasa di dadanya. Elang senang Radhitya senang.

Elang tangkap bayangan Karenina. Karenina sedang sibuk menyeduh mie, mendengarkan seseorang bercerita. Tawa keluar sekali-dua kali dari mulutnya, Karenina ditemani. Elang tahu lebih dari siapapun bahwa ada malam di mana Karenina merasa sepi, Elang senang malam ini bukan salah satunya.

Sisa malam itu berputar di kepala dengan lebih cepat, tawa teman-teman, candaan yang ia pernah dengar sebelumnya. Meja panas yang mulai mendingin, cerita perihal hubungan teman-temannya, dan percakapan dengan Dhika. Elang mengulang malam itu.

Elang menghela nafas, ia ingin menulis. Ia ingin menulis perihal malam ini, betapa hangat yang ia rasa, dan mengapa jantungnya tidak pernah berdebar sekencang ini — Elang tidak pernah merasa sehidup ini. Elang ingin menulis, menulis untuk mimpi-mimpinya. Elang ingin menulis, menulis bahwa ia tidak apa-apa kalau nanti ia sudah tidak bisa menulis perihal mimpi — teman-teman ini akan melanjutkan dan Elang akan merasa sama hidupnya. Elang akan hidup di tulisan-tulisan ini.

Maka, malam itu, Elang ucap tidak apa-apa. Di tengah teriakan kedua orang tuanya, di antara bunyi sirine, di dalam peliknya teriak panik dokter, di ujung malam, Elang berhenti dan menerima.

Tidak apa-apa.

--

--

No responses yet